TASIKMALAYA, PATROLI | Viman Alfarizi Ramadhan-Diky Candranegara, Wali Kota dan Wakil Wali Kota terpilih Kota Tasikmalaya menjadi salah satu dari 961 kepala daerah yang dilantik Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara Jakarta, Kamis (20/2).
Prosesi pelantikan pemimpin Kota Tasikmalaya yang baru tersebut terindikasi berbenturan dengan efisiensi anggaran yang didengungkan lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi.
Pada pelantikan, tampak para pejabat Pemkot Tasikmalaya datang ke Jakarta untuk menghadiri undangan pelantikan. Hal ini tentunya butuh tidak sedikit.
Pemerhati Anggaran, Nandang Suherman menilai ramainya pejabat Kota Tasikmalaya yang datang pada pelantikan mengundang keprihatinan saat pemerintah pusat mendengungkan efisiensi anggaran termasuk anggaran perjalanan dinas.
Nandang mengatakan, kebiasaan birokrasi untuk mengalokasikan anggaran untuk perjalanan dinas ternyata masih dilakukan. Padahal hal itu telah diwanti-wanti Presiden Prabowo tidak diperbolehkan, karena dinilai tidak efektif.
Ia menyebutkan, spirit Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, sudah jelas yakni efisiensi pada sejumlah item boros dan pemborosan. Mulai dari pengadaan ATK, perjalanan dinas, makan minum rutin, dan pengeluaran lain yang tidak terkait langsung dengan pelayanan publik.
“Pemerintah pusat tahu persis bahwa pos-pos tersebut sangat mudah dimanipulasi. Oleh karena itu, Pemkot Tasik harus benar-benar memastikan efisiensi dilakukan secara tepat dan transparan,” kata Nandang, seperti dikutip Idejabar.com.
Nandang mengaku heran ditengah isu efisiensi, Pemkot Tasikmalaya malah melakukan kegiatan yang dianggap kurang efektif apalagi produktif.
Pasalnya, kata Nandang, pertemuan itu bisa saja digelar ketika Walikota dan Wakil Walikota sesudah kembali ke Kota Tasikmalaya.
“Minggu lalu ada rapat pimpinan di balekota dan Viman difasilitasi Pj Asep dihadirkan. Terus mengapa masih ada agenda kepala dinas menghadiri pelantikan di luar daerah? Apakah itu benar-benar diperlukan? Praktek-praktek seperti ini seharusnya dihapus atau setidaknya dikurangi secara signifikan,” tutur pengajar di Sekolah Politik Anggaran (SEPOLA) Bandung tersebut. (Heni/Ist)